http://ahsanmaqan.blogspot.com
PROFIL
IMAM MADZHAB ABU HANIFAH
Nu’man bin Tsabit Al Kufi
Nu’man bin Tsabit Al Kufi
Imam Abu Hanifah
yang dikenal dengan dengan sebutan Imam Hanafi bernama asli Abu Hanifah Nu’man
bin Tsabit Al Kufi, lahir di Irak pada tahun 80 Hijriah (699 M), pada masa
kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan. Beliau digelari Abu Hanifah
(suci dan lurus) karena kesungguhannya dalam beribadah sejak masa kecilnya,
berakhlak mulia serta menjauhi perbuatan dosa dan keji.dan mazhab fiqhinya
dinamakan Mazhab Hanafi. Gelar ini merupakan berkah dari doa Ali bin Abi Thalib
r.a, dimana suatu saat ayahnya (Tsabit) diajak oleh kakeknya (Zauti) untuk
berziarah ke kediaman Ali r.a yang saat itu sedang menetap di Kufa akibat
pertikaian politik yang mengguncang ummat islam pada saat itu, Ali r.a
mendoakan agar keturunan Tsabit kelak akan menjadi orang orang yang utama di
zamannya, dan doa itu pun terkabul dengan hadirnya Imam hanafi, namun tak lama
kemudian ayahnya meninggal dunia.
Pada
masa remajanya, dengan segala kecemerlangan otaknya Imam Hanafi telah
menunjukkan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan
hukum islam, kendati beliau anak seorang saudagar kaya namun beliau sangat
menjauhi hidup yang bermewah mewah, begitu pun setelah beliau menjadi seorang
pedagang yang sukses, hartanya lebih banyak didermakan ketimbang untuk
kepentingan sendiri.
Disamping
kesungguhannya dalam menuntut ilmu fiqh, beliau juga mendalami ilmu tafsir,
hadis, bahasa arab dan ilmu hikmah, yang telah mengantarkannya sebagai ahli
fiqh, dan keahliannya itu diakui oleh ulama ulama di zamannya, seperti Imam
hammad bin Abi Sulaiman yang mempercayakannya untuk memberi fatwa dan pelajaran
fiqh kepada murid muridnya. Keahliannya tersebut bahkan dipuji oleh Imam
Syafi’i ” Abu Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fiqh “. karena
kepeduliannya yang sangat besar terhadap hukum islam, Imam Hanafi kemudian
mendirikan sebuah lembaga yang di dalamnya berkecimpung para ahli fiqh untuk
bermusyawarah tentang hukum hukum islam serta menetapkan hukum hukumnya dalam
bentuk tulisan sebagai perundang undangan dan beliau sendiri yang mengetuai lembaga
tersebut. Jumlah hukum yang telah disusun oleh lembaga tersebut berkisar 83
ribu, 38 ribu diantaranya berkaitan dengan urusan agama dan 45 ribu lainnya
mengenai urusan dunia.
Beliau
termasuk pengikut Tabiin (tabi’utabiin), sebagian ahli sejarah menyebutkan, ia
bahkan termasuk Tabi’in. Beliau pernah bertemu dengan Anas bin Malik (Sahabat)
dan meriwayatkan hadis terkenal, ”Mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim, ”
Imam
Abu Hanifah dikenal sebagai terdepan dalam “ahlu ra’y”, ulama yang baik dalam
penggunaan logika sebagai dalil. Beliau adalah ahli fiqh dari penduduk Irak.Di
samping sebagai ulama fiqh, Abu Hanifah berprofesi sebagai pedagang kain di
Kufah. Tentang kredibelitasnya sebagai ahli fiqh, Imam Syafi’i mengatakan,
”Dalam fiqh, manusia bergantung kepada Abu Hanifah, ”. Imam Abu Hanifah menimba
ilmu hadis dan fiqh dari banyak ulama terkenal. Untuk fiqh, selama 18 tahun
beliau berguru kepada Hammad bin Abu Sulaiman, murid Ibrahim An Nakha’i. Abu
Hanifah sangat selektif dalam menerima hadis dan lebih banyak menggunakan Qiyas
dan Istihsan.Dasar madzhab Imam Abu Hanifah adalah; Al-Quran, As Sunnah, Ijma’,
Qiyas, Istihsan. Dalam ilmu akidah Imam Abu Hanifah memiliki buku berjudul
“Kitabul fiqhul akbar” (fiqh terbesar; akidah).
Sejarah Perkembangan Madzhab Imam Hanafi
Imam
Abu Hanifah sebagai Imam Madzhab telah men-dedikasikan dirinya untuk
perjuangan islam.
a). Imam Abu Hanifah r.a Ketika Menuntut Ilmu
Seperti
kebiasaan ulama lainya, masa kecilnya dilalui dengan menghafal al-Qur’an
kemudian beberapa hadits-hadits penting.Sedang kehidupan ilmiyahnya dimulai
dengan menekuni Ilmu Kalam, mungkin dikarenakan kondisi masyarakat Irak yang
saat itu banyak perbedaan dan perdebatan masalah akidah sehingga memberikan
pengaruh terhadap kecenderungan Abu Hanifah muda. Namun lama-kelamaan beliau
menyadari bahwa selama ini ia telah mengikuti jalan yang tidak pernah diikuti
para salafuna ash-shalih dan sibuk dengan perdebatan-perdebatan yang tidak
jelas manfaatnya. Inilah yang menjadi faktor asasi perubahan haluan ilmu beliau
ke bidang Fiqh yang lebih nampak manfaatnya di tengah masyarakat.
Dalam
belajar Fiqh, Imam Abu Hanifah mengambil Fiqh ulama Kufah dari berbagai aliran
dan metode yang ada di sana, sementara sebagaimana yang kita ketahui bahwa Fiqh
Kufah secara umum bermuara pada metode beberapa orang tokoh seperti Ali bin Abi
Thalib, Ibnu Mas’ud, Alqamah (murid Ibnu Mas’ud) dan Ibrahim an-Nakha’i, metode
mereka itu diistilahkan dengan Fiqh al-Qiyas wa at-Takhrij. Disamping itu
beliau juga sempat mendengar pengajaran ulama besar Tabi’in seperti Atha’ bin
Abi Rabah, Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Hammad bin Abi Sulaiman.
Setelah
beberapa lama mengembara mendengar dan belajar dari ulama-ulama Kufah, akhirnya
Imam Abu Hanifah r.a mengambil sikap untuk belajar Fiqh secara khusus dari
seorang ulama saja atau yang dikenal dengan istilah mulazamah, dalam hal ini
beliau belajar kepada Hammad bin Abi Sulaiman r.a yang merupakan murid Alqamah
bin Qais r.a (murid Ibnu Mas’ud r.a) sekitar awal abad ke dua hijriyah. Imam
Hammad sendiri waktu itu adalah salah seorang ulama besar kalangan Tabi’in di
Kufah.Dan disebutkan dalam banyak buku bahwa Imam Abu Hanifah selalu menyertai
gurunya ini sampai akhir hayatnya, yaitu selama 18 tahun.Bahkan beliau
menyamakan posisi gurunya ini dengan orang tuanya.
b). Imam Abu Hanifah Seorang Guru
Pasca
meniggalnya Imam Hammad bin Abi Sulaiman pada tahun 120 H., posisinya
digantikan oleh Imam Abu Hanifah. Dalam mengajar beliau sering mengemukakan
hal-hal baru dan sering juga mendebat banyak pendapat, bahkan dalam mengajar
tidak sekali beliau menggunakan metode diskusi dengan murid-muridnya, dan jika
sebuah pembahasan sampai kepermasalahan adat, mashlahah dan masalah keadilan,
semuanya terdiam. Namun di saat yang sama beliau juga dikenal sebagai seorang
guru yang banyak diam, menghargai pendapat orang lain, ahli ibadah, zuhud,
wara’ dan tawadhu’. Dengan demikian beliau menggabungkan dua dunia; dunia pasar
dan dunia ilmu, dari dunia pasar beliau mendapatkan kekuatan berdebat dan
logika, dan dari dunia ilmu beliau mendapat sinar ke-tawadhu’-an.
Dengan
segala kelebihan yang dimilikinya menyebabkan banyak orang yang mengikuti
majlis ilmu dan metodenya dalam Fiqh.Dan tidak sedikit juga pujian datang baik
itu secara terang-terangan disampaikan kepada beliau maupun yang tidak, baik
dari yang sealiran maupun tidak, dari khalifah sampai masyarakat biasa.
Dalam
mengajar, metode beliau mirip dengan metode yang dipakai Socrates.Beliau tidak
sekedar menyampaikan ceramah, bahkan lebih banyak mengemukakan masalah-masalah
dan dilemparkan kepada murid-muridnya sembari memberikan dasar-dasar pijakan
dalam menetapkan hukum, kemudian mereka berdiskusi dan berdebat bersamanya, dan
di akhir beliau baru mengeluarkan pendapatnya.
Metode
seperti ini tentunya hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang berjiwa besar
dan memiliki kepribadian yang kuat, karena ia satu saat akan berada di posisi
murid dan di saat yang lain berada di posisi guru. Dan tujuan dari metode ini
adalah untuk meluaskan wawasan, menguatkan ilmu murid dan guru dalam waktu yang
bersamaan.
Bagi
Imam Abu Hanifah, murid-muridnya merupakan orang-orang yang paling beliau
cintai, seperti hubungan bapak dengan anak. Bahkan ketika Abu Yusuf terlambat
menghadiri majlis beliau karena membantu orang tuanya dalam mencari nafkah
hidup, beliau panggil dan setelah mengetahui alasannya beliau tidak
sungkan-sungkan memberikan 100 dirham agar Abu Yusuf tidak lari lagi dari
majlis beliau, dan hal ini tidak terjadi sekali saja!.
c). Penilaian Para Ulama Terhadap Abu Hanifah
Berikut
ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:
1. Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh, dia tidak membicarakan hadits kecuali yang dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang tidak hafal”. Dan dalam waktu yang lain beliau berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh di dalam hadits”. Dan dia juga berkata, “Abu hanifah laa ba’sa bih, dia tidak berdusta, orang yang jujur, tidak tertuduh dengan berdusta, …”.
1. Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh, dia tidak membicarakan hadits kecuali yang dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang tidak hafal”. Dan dalam waktu yang lain beliau berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh di dalam hadits”. Dan dia juga berkata, “Abu hanifah laa ba’sa bih, dia tidak berdusta, orang yang jujur, tidak tertuduh dengan berdusta, …”.
2.
Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Kalaulah Allah subhanahu wa ta’ala tidak
menolong saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan
seperti orang biasa”. Dan beliau juga berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang
paling faqih”. Dan beliau juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan
Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah
adalah Abu Hanifah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun
kepada musuhnya’ kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah, dia adalah orang yang
paling berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.”
Beliau juga berkata, “Aku dating ke kota Kufah, aku bertanya siapakah orang
yang paling wara’ di kota Kufah? Maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu
Hanifah”. Beliau juga berkata, “Apabila atsar telah diketahui, dan masih
membutuhkan pendapat, kemudian imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan
Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah …
dan dia orang yang paling faqih dari ketiganya”.
3. Al-Qodhi Abu Yusuf berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang berbicara tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya”. Beliau juga berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu Hanifah”.
3. Al-Qodhi Abu Yusuf berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang berbicara tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya”. Beliau juga berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu Hanifah”.
4.
Imam Syafii berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan)
dalam masalah fiqih hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”
5.
Fudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal
dengan wara’-nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan
mengajarkan ilmu, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik,
menghindari dari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ juga mengatakan hal serupa
dengan perkataan Fudhail bin Iyadh.
6.
Yahya bin Sa’id al-Qothan berkata, “Kami tidak mendustakan Allah swt, tidaklah
kami mendengar pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu Hanifah, dan sungguh
banyak mengambil pendapatnya”.
7.
Hafsh bin Ghiyats berkata, “Pendapat Abu Hanifah di dalam masalah fiqih lebih
mendalam dari pada syair, dan tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang yang
jahil tentangnya”.
8.
Al-Khuroibi berkata, “Tidaklah orang itu mensela Abu Hanifah melainkan dia itu
orang yang pendengki atau orang yang jahil”.
9.
Sufyan bin Uyainah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah karena dia
adalah termasuk orang yang menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat)”.
Beberapa
penilaian negatif yang ditujukan kepada Abu Hanifah
Abu Hanifah selain dia mendapatkan penilaian yang baik dan pujian dari beberapa ulama, juga mendapatkan penilaian negatif dan celaan yang ditujukan kepada beliau, diantaranya :
1. Imam Muslim bin Hajaj berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit shahibur ro’yi mudhtharib dalam hadits, tidak banyak hadits shahihnya”.
Abu Hanifah selain dia mendapatkan penilaian yang baik dan pujian dari beberapa ulama, juga mendapatkan penilaian negatif dan celaan yang ditujukan kepada beliau, diantaranya :
1. Imam Muslim bin Hajaj berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit shahibur ro’yi mudhtharib dalam hadits, tidak banyak hadits shahihnya”.
2.
Abdul Karim bin Muhammad bin Syu’aib An-Nasai berkata, “Abu Hanifah Nu’man
binTsabit tidak kuat hafalan haditsnya”.
3.
Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Abu Hanifah orang yang miskin di dalam
hadits”.
4.
Sebagian ahlul ilmi memberikan tuduhan bahwa Abu Hanifah adalah murji’ah dalam
memahi masalah iman. Yaitu penyataan bahwa iman itu keyakinan yang adal dalam
hati dan diucapkan dengan lesan, dan mengeluarkan amal dari hakikat iman.
Dan
telah dinukil dari Abu Hanifah bahwasanya amal-amal itu tidak termasuk dari
hakekat imam, akan tetapi dia termasuk dari sya’air iman, dan yang berpendapat
seperti ini adalah Jumhur Asy’ariyyah, Abu Manshur Al-Maturidi dan
menyelisihi pendapat ini adalah Ahlu Haditsdan telah dinukil pula dari Abu
Hanifah bahwa iman itu adalahpembenaran di dalam hati dan penetapan dengan
lesan tidak bertambah dan tidak berkurang. Dan yang dimaksudkan dengan “tidak
bertambah dan berkurang” adalah jumlah dan ukurannya itu tidak
bertingkat-tingkat, dak hal ini tidak menafikan adanya iman itu
bertingkat-tingkat dari segi kaifiyyah, seperti ada yang kuat dan ada yang
lemah, ada yang jelas dan yang samar, dan yang semisalnya.
d). Imam Abu Hanifah Dan Ulama Yang Semasa Dengannya
Diantara
ulama-ulama yang semasa dengannya di Kufah adalah Imam Sufyan ats-Tsauri r.a
(ulama Hadits), Imam Syarik bin Abdillah an-Nakha’i (ulama Fiqh) dan Muhammad
bin Abdurrahman bin Abi Laila (ulama Fiqh). Hubungan antara Imam Abu Hanifah
dengan mereka tidak terlalu baik, perbedaan antara Ahli Hadits dengan Ahli Ra’yi
berpengaruh kepada hubungan beliau dengan Imam ats-Tsauri r.a, sedangkan dengan
Imam Ibnu Abi Laila r.a, yang waktu itu menjadi Qadhi di Kufah, kurang harmonis
juga karena beliau sering mengeluarkan fatwa yang berbeda dengan Imam Ibnu Abi
Laila r.a, sehingga kadang-kadang ada peringatan dari pemimpin negeri agar Imam
Abu Hanifah tidak mengeluarkan Fatwa, sementara dengan Imam Syarik r.a ada
sedikit persaingan karena satu masa. Meskipun demikian Imam Abu Hanifah r.a
tetap memiliki kharisma yang tinggi di kalangan masyarakat, terbukti banyak
sekali murid-muridnya yang menjadi ulama besar, Beberapa murid Imam Abu Hanifah
yang terkenal:
- Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim dari Kufah (113 – 182 H). Beliu menjadi hakim agung di masa Khalifah Harun Al-Rasyid. Beliau juga sebagai mujtahid mutlak (mujtahid yang menguasai seluruh disiplin ilmu fiqh).
- Muhammad bin Hasan Asy Syaibani (132 – 189 H). Lahir di Damaskus (Syuriah) dan besar di Kufah dan menimbah ilmu di Baghdad. Pernah menimba ilmu kepada Abu Hanifah, kemudian Abu Yusuf. Pernah menimba ilmu kepada Imam Malik bin Anas. Ia juga termasuk mujtahid mutlak. Ia menulis kitab “dlahirur riwayah” sebagai pegangan madzhab Abu Hanifah.
- Abu Hudzail Zufar bin Hudzail bin Qais (110 – 158 H) ia juga sebagai mujtahid mutlak.
- Hasan bin Ziyad Al-Lu’lu’iy (w 204 H). Dalam urusan fiqh beliau belum mencapai Abu Hanifah dan dua muridnya.
e). Penyebaran Mazhab Hanafi
Mazhab
Hanafi banyak berkembang awalnya di Baghdad dan Kuffah, namun kemudian terus
meluas sampai ke daerah-daerah lain, khususnya yang pernah berada di bawah
kekuasaan Abbasiyah, seperti Mesir, Syam, Tunis, Jazair, Tripoli, Yaman, India,
Parsi, Romawi, Cina, Bukhara, Afghan, Turkistan bahkan Brazil. Sampai saat ini
bisa dikatakan Mazhab Hanafi banyak dipakai di Irak, Syam/Syiria, India,
Turkistan, negera-negara Kaukasia, Turki, Albania dan di kawasan Balkan.
Diantara
poin penting yang menjadikan penyebaran Mahzab ini ke banyak negeri adalah:
1.
Banyaknya murid Abu Hanifah dan perhatian mereka dalam menyebarkan dan
menjelaskan pendapat-pendapat Imam mereka.
2.
Mazhab Hanafi dijadikan sebagai mazhab resmi negara semasa kekuasaan Abbasiyah.
3.
Pengangkatan Imam Abu Yusuf sebagai Qadhi al-Qudhah (hakim tertinggi) yang
memiliki kekuatan dalam memilih qudhahi (hakim-hakim) di daerah-daerah, dan
para hakim tersebut selalu memakai pendapat Imam Abu Yusuf dalam memutuskan
perkara-perkara.
4.
Perhatian besar ulama-ulama Mazhab ini dalam percepatan pertumbuhan Mazhab
Hanafi dengan mencurahkan kemampuan mereka dalam mencari ilat hukum dan
sekaligus mempraktekkannya dalam banyak masalah-masalah baru yang timbul. Hal
ini menjadi Mazhab ini selalu memiliki solusi-solusi dalam setiap permasalahan.